Rabu, 02 Desember 2015

Penyuluhan Mengenai Sistem Tumpang Gilir Kepada Kelompok Tani "Usaha Makmur"

Pelaksanaan penyuluhan sistem tumpang gilir kepada kelompok tani "Usaha Makmur" dilaksanakan pada hari Senin, 30 November 2015 di Dusun Kadisono, Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul. Salah satu alat peraga yang digunakan untuk memperlancar proses penyuluhan adalah folder atau brosur lipat. Berikut merupakan folder mengenai sistem tumpang gilir.


  
Di bawah ini adalah foto kelompok 8 bersama salah satu anggota kelompok tani "Usaha Makmur":



Berikut merupakan cuplikan video pelaksanaan penyuluhan:





Minggu, 08 November 2015

LIPI Belajar Pertanian Terpadu di Desa Gemilang

Hari Jum’at hingga Sabtu (28-29/08), tim Pusat Penelitian Kependudukan (P2K) Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan kunjungan ke 2 Desa Gemilang  di Jawa Tengah dampingan Al Azhar Peduli Ummat (APU).
Saat LIPI Belajar ke Desa Gemilang dalam Forum Discussion Group
Tim yang dipimpin Drs. Dundin Zaenuddin, MA (Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI) dan Endang Soesilowati (Ketua Perencana, Monitoring dan Evaluasi – PME IPSK LIPI)  juga membawa serta anggota Tim Koordinasi Laboratorium Sosial IPSK LIPI dan Sekteratris Desa Ligarmukti, Bogor sebagai pejabat desa tempat desa dampingan LIPI.
Rumah Produksi Tahu APU
Destinasi pertama, LIPI datang ke Desa Jemawan, Klaten untuk melihat dan belajar secara langsung konsep dan implementasi pertanian terpadu (integrated farming) yang pelaksanaan programnya APU bermitra dengan Yayasan Klaten Peduli Ummat (YKPU). Di Desa Jemawan, pendampingan desa gemilang ini telah memasuki tahun ketiga. Rumah pengolahan Tahu APU yang dikelola secara kelompok ini diintegrasikan dengan peternakan dan pertanian terpadu. Limbah tahu yang dikeluarkan dimanfaatkan untuk penambah bahan pakan ternak kambing dan sapi yang memiliki kandungan gizi sangat baik bagi hewan ternak. Selain itu, limbah cair tahu juga dipakai untuk biogas yang dicampur dengan limbah/kotoran ternak sebagai pemanas pengolahan kedelai. Kotoran ternak sapi dan kambing secara mandiri diolah dan dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk meningkatkan produktifitas hasil pertanian di desa Jemawan dan sekitarnya.
Saat ini Jemawan juga sudah mengembangkan peternakan domba komunal yang dikelola oleh kelembagaan lokal Griya Iqro secara berkelompok. Selain melakukan studi pertanian terpadu, Tim LIPI belajar bagaimana membentuk, mengelola dan mengoptimalkan kelembagaan lokal untuk membangun keberdayaan desa dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial yang dimiliki desa.
Keesokannya, LIPI dan APU bergeser ke desa gemilang lainnya, yaitu Lingkungan Baran dan Mundu Kelurahan Puloharjo, Kecamatan Eromoko, Wonogiri yang disambut langsung oleh Lurah dan pejabat desa lainnya sebagai mitra program APU. LIPI menguatkan study-nya terkait kelembagaan lokal di Saung Ilmu bersama stakeholders program yaitu pendamping masyarakat, pengurus Saung Ilmu, kelompok-kelompok swadaya masyarakat, pejabat kelurahan dan jajarannya serta masyarakat Baran dan Mundu.
Rumah Rabuk Tempat Pengolahan Pupuk
Masyarakat juga memiliki manajemen penyimpanan hasil pertanian yang baik untuk menjaga ketersediaan pangan yang baik.  Melalui Rumah Rabuk yang dikelola secara swadaya masyarakat, petanipun telah mampu mandiri pupuk, tidak lagi bergantung pupuk kimia dari pemerintah yang masih langka dan mahal. Pupuk organik padat yang diproduksi masyarakat di Rumah Rabuk dengan memanfaatkan kotoran hewan dan limbah pertanian mampu men-suplay kebutuhan pupuk para petani di Baran & Mundu dan sekitarnya. Bahkan menjadi salah satu usaha bersama masyarakat melalui Umbaran (Usaha Masyarakat Mundu Baran).
“Hanya ada di desa gemilang, pengejawantahan dan wujud riil dari hasil studi dan penelitian-penelitian  yang kami lakukan”, ungkap Drs. Dundin Zaenuddin, MA. “Terima kasih kawan-kawan APU, dan mohon izin kami akan sebarkan virus-virus pemberdayaan dan kemandirian masyarakat ini”, pungkasnya. Sigit Iko Sugondo mewakili tim APU dan Forum Indonesia Gemilang juga mengucapkan terima kasih atas apresiasi ini. “Beginilah adanya desa-desa gemilang dampingan kami, tanpa direka-reka. Semoga banyak ilmu yang didapat dan menginspirasi”, ujar Sigit. “Dan, ini baru 2 desa. Masih ada puluhan desa-desa gemilang lainnya di 10 provinsi yang memiliki keunikan dan inovasi-inovasi pemberdayaan yang lain”, tutup Sigit Iko Sugondo.
Sumber : Anonim,2015.LIPI Belajar Pertanian Terpadu di Desa Gemilang.<http://alazharpeduli.com>.Diakses 7 November 2015.

 Niken Suryana (13769)

PERENCANAAN LANSKAP PEKARANGAN DENGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan semakin berkurangnya lahan pertanian, dilakukan usaha untuk meningkatkan produksi pertanian. Sejalan dengan kemajuan teknologi, munculah penggunaan varietas unggul, pupuk kimia, pestisida, dan bahan kimia lainnya serta mesin-mesin pertanian sebagai usaha untuk meningkatkan produksi pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan. Usaha yang dilakukan ini dikenal dengan sistem pertanian modern. Dalam perjalanannya sistem pertanian modern tidak dapat menjamin keberlanjutan pertanian karena tidak ramah lingkungan. Sistem pertanian modern mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam. Untuk menjaga pertanian tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan diperlukan suatu sistem pertanian yang memanfaatkan penggunaan sumber daya lokal secara optimal serta penggunaan masukan seperti pupuk dan pestisida yang ramah lingkungan. Selain itu, untuk mengurangi penggunaan masukan luar dilakukan usaha pemanfaatan limbah dari tanaman, ternak, dan ikan menjadi masukan bagi produksi pertanian. Namun, untuk memenuhi kebutuhan pangan yang meningkat diperlukan produksi pertanian yang berkelanjutan dan mempunyai produktivitas optimal. Padahal, untuk mendapatkan produksi yang optimal sering kali petani dihadapkan pada kepemilikan lahan yang sempit sehingga diperlukan usaha mengoptimalkan lahan pertanian yang sempit sebagai lahan pertanian yang produktif dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan. Sistem pertanian yang ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah sistem pertanian terpadu dengan konsep LEISA (low-external-input and sustainable agriculture). LEISA merupakan sistem pertanian terpadu yang memanfaatkan limbah produksi pertanian sebagai masukan sehingga mengurangi penggunaan masukan luar. Limbah dari produksi pertanian meliputi kotoran ternak serta limbah organik dari tanaman. Dusun Teluk Waru mempunyai penduduk yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani, tetapi sebagian besar mempunyai lahan pertanian yang sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha. Untuk memenuhi kebutuhan bulanan, warga tidak dapat mengandalkan dari produksi lahan pertaniannya sehingga mereka masih mempunyai pekerjaan sampingan. Pekarangan menjadi lahan potensial untuk diusahakan sebagai lahan pertanian yang produktif karena lokasinya yang dekat dengan rumah sehingga mudah dalam pengelolaannya. Warga Dusun Teluk Waru belum memanfaatkan pekarangan secara optimal. Untuk mengoptimalkan pekarangan dibuatlah rencana lanskap pekarangan dengan sistem pertanian terpadu berkonsep LEISA yang diharapkan mampu mencukupi kebutuhan bulanan warga Dusun Teluk Waru. Dalam usaha mengoptimalkan pekarangan direncanakan dua alternatif usaha tani. Alternatif 1 mengusahakan jagung (172 m2), kacang merah (172 m2), kacang panjang (172 m2), cabai merah (172 m2), talas (24 m2), ubi jalar (24 m2), sengon (172 m2), kambing (5 ekor), ayam kampung (50 ekor), dan ikan lele (1250 ekor). Alternatif 2 mengusahakan jagung (100 m2), kacang merah (100 m2), kacang panjang (100 m2), cabai merah (100 m2), talas (42 m2), ubi jalar (42 m2), pisang (24 pohon), singkong (42 m2), kambing (5 ekor), ayam kampung (100 ekor), dan ikan lele (1250 ekor). Dari hasil perencanaan lanskap pekarangan dengan sistem pertanian terpadu pada pekarangan warga di Dusun Teluk Waru dengan luas lahan 350 m2 diperoleh hasil analisis kelayakan finansial usaha tani Alternatif 1 dengan NPV sebesar Rp 45.261.784,00, IRR sebesar 111%, dan Net B/C 3,49. Usaha tani Alternatif 1 layak untuk dijalankan karena mempunyai NPV>0, IRR di atas suku bunga 20%, dan Net B/C>1. Hasil analisis kelayakan finansial usaha tani Alternatif 2 diperoleh NPV sebesar Rp 72.128.612,00, IRR sebesar 137%, dan Net B/C 4,28. Usaha tani Alternatif 2 layak pula untuk dijalankan karena mempunyai NPV>0, IRR di atas suku bunga 20%, dan Net B/C>1. Nilai produksi dari usaha tani Aternatif 1 dan Alternatif 2 masingmasing sebesar Rp 34.059.280,00 dan Rp 47.990.994,00 per tahun. Keuntungan usaha tani di pekarangan Alternatif 1 dan Alternatif 2 masing-masing adalah Rp 27.393.751,00 dan Rp 38.841.848,00 per tahun atau Rp Rp 2.282.816,00 dan Rp 3.236.821,00 per bulan. Keuntungan yang diperoleh dari produksi pekarangan dapat mencukupi kebutuhan keluarga petani karena masih di atas kebutuhan bulanan keluarga petani sebesar Rp 1.284.450,00 atau Rp 13.742.045,00 per tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidup bulanan petani usaha tani Alternatif 1 dan Alternatif 2 masing-masing membutuhkan luas lahan minimum 175,57 m2 dan 123,83 m2. Luas lahan ini lebih kecil daripada luas kepemilikan lahan ratarata petani setempat.

daftar pustaka:
Mardiyanto, Anggi. 2009. Perencanaan Lanskap Pekarangan Dengan Sistem Pertanian Terpadu. IPB scientific repository. Bogor.

Sistem Pertanian Terpadu pada Lahan Pekarangan Wilayah Desa di Yogyakarta


Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu adalah memadukan antara kegiatan peternakan, perikanan, dan pertanian. Pola ini sangat menunjang penyediaan pupuk kandang pada lahan pertanian sehingga sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh  hasil usaha yang optimal serta dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman harus saling melengkapi, mendukung, dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha tani. Praktek pola pertanian terpadu dapat berupa sistem multiple croping (tumpang sari), agroforestry, perternakan, dan dipadukan dengan pembuatan teras, serta pemanfaatan lahan pekarangan.
Penerapan sistem pertanian terpadu integrasi ternak dan tanaman memang telah terbukti sangat efektif dan efisien dalam rangka penyediaan pangan masyarakat. Dalam terbitan Republika Online (03/03/2015), Wakil Ketua DPD RI Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyatakan bahwa pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta harus menerapkan sistem pertanian terpadu untuk mengimbangi penyusutan lahan pertanian. Berdasarkan data Dinas Pertanian DIY, setiap tahun lahan pertanian di DIY menyusut sekitar 200 hektar.  Penyusutan lahan tersebut akan berdampak pada penyusutan lahan pertanian.  Akibatnya, DIY akan mengalami darurat pangan dan nasibnya akan tergantung dari impor beras atau makanan dari luar kabupaten atau provinsi lain.

KLHK Dukung UGM Rintis Sistem Pertanian Terpadu di Kawasan Hutan. Seperti Apakah?

KLHK Dukung UGM Rintis Sistem Pertanian Terpadu di Kawasan Hutan. Seperti Apakah?

Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pangan berupa beras. Program ketahanan pangan pun masih bertumpu pada lahan sawah di Pulau Jawa, yang tiap tahun lahanya kian menyusut drastis. Oleh karena itu, perlu digalakkan pemanfaatan hutan negara untuk mendukung sistem pertanian terpadu dengan tetap mempertahankan kondisi hutan.
Oleh karena itu, Universitas Gadjah Mada (UGM) merintis pengembangan sistem pertanian terpadu (integrated farming system) lewat pemanfaatan areal hutan di bawah tegakan hutan. Sistem ini didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pehutani karena membantu pembukaan lahan hutan untuk ketersediaan pangan. Apalagi tahun 2015, pemerintah mengalihkan dana subsidi BBM sebesar Rp15 triliun untuk rehabilitasi jaringan irigasi satu juta hektar, distribusi benih, pupuk dan alat mesih pertanian.
“Semangat kami mengimplementasikan seluruh hasil riset di bidang kehutanan, hutan tidak sekedar melindungi lingkungan, tapi sumber pangan, energi, dan sumber tekstil yang berasal dari serat rayon,” kata Rektor UGM Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D., saat membuka Rencana Aksi Pelaksanaan Integrated Farming System di Kawasan Hutan yang berlangsung di Ruang Multimedia UGM, pada Jumat (16/01/2014).
Lahan persawahan di daerah Pati, Jawa Tengah.  Foto : Tommy Apriando
Lahan persawahan di daerah Pati, Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando
Selama dua dekade terakhir, Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. Moh Naiem mengatakan kebijakan pemerintah dalam mendorong kedaulatan pangan tidak dilakukan secara serius. Saat ini luas lahan produksi pangan di Indonesia berkisar 15,35 juta hektar padahal yang dibutuhkan mencapai 24,2 juta hektar.
Dari kajian tim ketahanan pangan UGM, impor beras saat ini mencapai 10 persen dari produksi dalam negeri, dengan cadangan beras untuk mencukupi kebutuhan sekitar tiga bulan ke depan. Sementara itu, pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertania  baru sangat rendah, konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia laha pertanian.
Dengan 60 persen kawasan hutan dari total luas daratan, deforestasi akan tetap menjadi fenomena umum dan terkait dengan kerusakan lingkungan dan bencana alam. Oleh karena itu perlu kebijakan ramah lingkungan terhadap kedaulatan pangan melalui iptek tanpa mengorbankan kelestarian hutan. Deforestasi hutan tropis ke lahan pertanian ternyata didominasi oleh konversi hutan dalam pengembangan industri sawit yang sebagian besar dimiliki asing.
“Sektor pertanian masih menjadi primadona, lebih 40 persen penyerap total lapangan kerja yang saat ini didominasi oleh unskilled labour. Indonesia harus berani mengakui bahwa saat ini sektor pertanian masih merupakan tumpuan utama pendapatan rakyatnya, sehingga sektor pertanian harus tetap menjadi kunci keberhasilan pembangunan,” kata Naiem.
Permasalahan utama strategi pengembangan kedaulatan pangan di kawasan hutan yaitu akses lahan terbatas, akses modal, saprodi (sarana produksi) dan alsintan (alat dan mesin pertanian) terbatas. Tidak ada akses bibit dan benih, petani belum terlatih dan tidak teroganisir dan tata niaga buruk didominasi tengkulak.
“Permasalahan adanya ketidaktransparanan dalam akses sumber daya hutan yang didominasi para elit lokal, selain itu petani hutan selalu mendapatkan diskriminasi dalam hal bantuan saprodi dari pemerintah. Namun, dapat diatasi dengan penerapan sistem informasi,” tambahnya.
Dalam pengembangan sistem pertanian terpadu, Fakultas Kehutanan UGM telah mencoba menanam varietas padi.“Kita sudah mencobanya dengan menanam empat varietas padi di area kawasan perhutani di Jawa Timur dan Jawa Tengah lewat sistem tumpang sari dan gumpang gilir di sela tanaman jati dan pinus,” kata Naiem.
Di Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Ngawi, Fakultas Kehutanan UGM mengembangkan sepuluh varietas padi gogo, yang baru diintensifkan pada tiga varietas unggulan yaitu Situpatenggang, Inpago 4, dan Inpari.
Hamparan sawah setelah dipanen.  Siklus tanam padi hanya sekali dalam setahun di masyarakat tradisi Ciptagelar.  Foto: Ridzki R. Sigit
Hamparan sawah setelah dipanen. Siklus tanam padi hanya sekali dalam setahun di masyarakat tradisi Ciptagelar. Foto: Ridzki R. Sigit
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Prof. Dr. San Afri Awang, mengatakan KLHK dan Kementerian Pertanian bersepakat menyiapkan lahan sebesar sejuta hektar untuk meningkatkan produksi pangan berada di Kalimantan dan Papua. “Dari satu juta lahan ini, 500 ribu untuk pangan dan sisanya untuk tanaman tebu,” terangnya.
Penyediaan lahan satu juta hektar untuk mendukung pembangunan lahan sawah baru melalui pelepasan kawasan hutan dan sistem pinjam pakai. Selain itu juga disediakan pemanfaatan areal lahan hutan di bawah tegakan hutan seluas 250 ribu hektar, serta kerja sama kemitraan dunia usaha dengan bantuan dana CSR produktif seluas 1,6 juta hektar. San Afri mengatakan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) produksi padi untuk kedaulatan pangan ditargetkan 82 juta ton.
Dia menjelaskan ada perbedaan antara sistem pertanian terpadu dan agro forestry.  Jika hutan terus-terusan ditanami padi, maka akan muncul masalah lainnya. Oleh karena itu, hutan jangan hanya dibuka untuk pertanian padi. Karena satu miliar penduduk dunia,  juga bergantung pada produk buah dan hutan alam.
Dia menyarankan pertanian terpadu harus diintegrasikan bersama kelompok petani di desa, sambil menerapkan undang-undang pengembangan desa.
San Afri menyebutkan sekitar 29 persen lahan hutan dikuasai korporasi, hanya 0,58 persen dipegang oleh rakyat. In sangat tidak adil dan menunjukkan kegagalan dalam meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan petaninya.
Lahan menjadi faktor produksi penting kedaulatan pangan maka luas tanah juga penting. Setiap orang di Jawa hanya punya tanah 0,24 hektar dan hanya 0,36 hektar di Jateng, serta 2,4 juta hektar dikuasai perum Perhutani. Oleh karena itu pendampingan menjadi penting.
“Saya rasa, (lahan untuk) pengusaha sudah cukup. Kita coba naikkan 12,7 juta hektar lahan hutan untuk rakyat. Era Presiden Jokowi sangat serius melakukan ini,” katanya.
Ia menambahkan, penelitian selama 10 tahun di Madiun untuk pertanian tumpangssari untuk satu hektar lahan sekali tanam menghasilkan 4,2 ton padi, 1,4 ton jagung dan 18 ton ubi kayu. KLHK sendiri meminta Perhutani menyiapkan tanah seluas 30 ribu hektar di Jawa Tengah, di Jawa Timur 30 ribu hektar dan di Jawa Barat 20 ribu hektar.
“Minimal rakyat desa memanfaatkan lahan 2 hektar dengan sistem pertanian terpadu. Selama ini hanya 0.25 hektar hanya dapat 1,2 ton. Gunakan mekanisasi dan panca usaha tani yang benar. Perhutani tiap tahun tanam 54 ribu hektar tanaman hutan, hanya 12 ribu tumpangsari, sisanya cemplongan (tidak terpakai),” tambahnya.
Pertanian konvensional di Yogyakarta yang masih mendominasi upaya ketersediaan pangan. Foto: Aji Wihardandi
Pertanian konvensional di Yogyakarta yang masih mendominasi upaya ketersediaan pangan. Foto: Aji Wihardandi
Sementara itu, Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Kementerian Pertanian Ir. Bambang Sad Juga, M.Sc mengatakan, sistem pertanian terpadu ini sejalan dengan nawacita Presiden Jokowi untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Adapun turunannya yakni peningkatan kedaulatan pangan yang dicerminkan pada kekuatan mengatur masalah pangan secara mandiri yakni ketahanan pangan terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri dan mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pengan terutama petani dan nelayan.
“Kondisi riil ketahanan pangan nasional saat ini bertumpu pada lahan sawah yang terpusat di Pulau Jawa yang luasnya semakin menyusut. Permintaan produk pangan berkualitas meningkat, produksi rendah, lahan usaha sempit dan tidak bisa diperluas serta kebutuhan hidup terus meningkat,” kata Bambang.
Ia menambahkan penghasil devisi utama ada pada sektor pertanian. Ekspor hasil perkebunan pada tahun 2013  sebesar 26,77 miliar US dolar yang mengakibatkan neraca perdagangan sektor pertanian surplus 15,843 US dolar.
Ujicoba di Jateng
Pemprov Jateng menandatangani nota kesepahaman dengan Perhutani dan UGM untuk mewujudkan sistem pertanian terpadu. Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyebutkan ada 653 ribu kawasan hutan Perhutani di Jawa Tengah yang sejatinya potensial dimanfaatkan untuk lahan pertanian terpadu dan peberdayaan ekonomi masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan hutan.
“Kawasan hutan perlu dipakai karena stok pangan kita makin berkurang,” katanya.
Ganjar menambahkan, problem lingkungan hidup dan kehutanan ke depan semakin berebut dan semakin keras. Saat ini ia dipermasalahkan di Rembang, memilih pabrik semen atau sumber air. Menyusul permasalahan di Pati, di Grobogan dan Gombong. Pemprov Jateng sebelumnya menggelontorkan dana sebesar Rp 750 juta untuk pengadaan bibit padi gogo untuk ditanam di kawasan KPH yang ada di Blora, Kendal, Banyumas, Grobogan, Boyolali dan Rembang.
Pemprov akan mengajak masyarakat sekitar hutan untuk memanfaatkan lahan hutan dengaan sistem pertanian terpadu, dibantu UGM dalam pendampingan, varietas dan lainnya.
“Jika ini bisa didorong maka akan membantu mempercepat kedaulatan pangan. Saat ini Jateng surplus pertanian padi 3 juta ton. Bicara kedaulatan pangan maka Jateng haram hukumnya impor beras,” kata Ganjar.
Terkait kondisi sumber air untuk irigasi pertanian, Pemprov Jawa Tengah akan ada proyek besar yakni pembangunan Waduk di Kudus dan Wonogiri. Sementara waduk Karanganyar dan Kota Semarang  sudah jadi.
“Minimal ada lima waduk baru. Jika ini bisa dilaksanakan maka target pangan bisa terpenuhi, jika tidak bisa maka perlu Embung dan selebihnya pakai air tanah,” tutup Ganjar.